MEDIA LOKAL RAMAH & AKURAT

Sabtu, 31 Agustus 2013

**Refleksi Makna Kemerdekaan

Secara fisik, sudah 68 tahun bangsa Indonesia lepas dari belenggu penjajahan. Namun, kenyataannya negeri ini masih carut marut di segala bidang, bahkan mungkin akan lebih dari kenyataan pahit saat ini. Tak ayal lagi Indonesia masih terpuruk dibandingkan negara lainnya. Anehnya, di tengah-tengah keterpurukan ini sebagian kalangan malah berfoya-foya dengan dalih merayakan kemerdekaan. Ia terlena akan makna kemerdekaan sejati.
Gempita kemerdekaan sangat marak menjelang ritual peringatan ke 68 tahun Indonesia mengenang kebebasannya beberapa waktu lalu di sela-sela hiruk pikuknya kota hingga merambah ke desa-desa. Lampu kerlap-kerlip pun ikut menghiasi dan menghidupkan suasana keceriaan. Selaksa ikut menyambut kemerdekaan Republik Indonesia. Sesekali terdengar pekikan “merdeka” oleh anak-anak kecil seakan-akan mengajak kita kembali pada masa-masa perjuangan dulu. Dengan penuh riang gembira, bangsa Indonesia mulai anak-anak sampai orang dewasa menyambut kemerdekaannya.
Sudah menjadi tradisi bernegara, di setiap hari-H kemerdekaan diselenggarakan upacara kemerdekaan. Mulai dari sekolah-sekolah sampai instansi-instansi pemerintahan. Beraneka macam cara ditempuh untuk memperingati kemerdekaan, sebagian kalangan berbagai macam perlombaan, karnaval, dan bahkan ada yang berjoget ria sambil mabuk-mabukan. Intinya, mereka ingin mengekspresikan keceriaannya dengan beragam cara. Sampai-sampai mereka lalai dan tak peduli akan arti dan spirit perjuangan para pejuang bangsa.
Kendatipun sudah 68 tahun telah menikmati kemerdekaan, bukan berarti bangsa Indonesia bisa ongkang-ongkang dengan seenaknya. Seakan-akan telah usai dari garapan besarnya. Kita harus sadar bahwa cita-cita luhur para pejuang kemerdekaan belum tercapai secara sempurna. Secara fisik kita memang merdeka, tetapi secara politik, ekonomi, budaya, ideologi, dan kebebasan berpikir kita masih berada di bawah cengkeraman orang-orang Barat. Agenda besar yang ada di hadapan bangsa Indonesia saat ini adalah mengentaskan dirinya dari belenggu imperialisme baru. Bukannya melakukan hura-hura yang justru tidak menghargai tetesan keringat para pejuang. Perjuangan bangsa Indonesia dibayar dengan cucuran darah dan air mata, karenanya kita tidak boleh mengacuhkannya begitu saja. Kita harus melanjutkan perjuangan mereka menuju kemerdekaan yang hakiki. Dalam konteks ini, kita perlu merefeleksi ulang makna hakiki sebuah kemerdekaan.
Pada dasarnya, manusia terlahir di muka bumi ini dengan sejuta kebebasan. Terlepas dari sekapan-sekapan kekuasaan di luarnya. Punya keleluasaan hak yang tidak boleh dirampas oleh pihak lain. Sebagaimana telah diujarkan oleh Sahabat Nabi Umar RA, bahwa sejak kapan kalian memperbudak manusia, sedangkan mereka dilahirkan dari rahim ibunya dalam keadaan merdeka. 
Islam adalah agama pembebas. Isi utamanya mengembalikan kemerdekaan dan hak-hak manusia yang telah dirampas oleh pihak-pihak yang bertindak sewenang-wenang. Melalui semboyan “La Ilaaha Illallah” ada isyarat yang nyata akan adanya kemerdekaan secara purna dalam Islam. Dengan pernyataan “Laa Ilaha” berarti manusia telah melepaskan dirinya dari penghambaan dan ketundukan dari kekuatan mana saja yang menghegemoni dirinya. Tapi perlu diingat, bahwa kebebasan yang kelewat batas akan menimbulkan anarkisme. Maka, perlu dihadirkan kata “Illallah”, artinya meskipun manusia punya kebebasan secara penuh, tapi masih dalam rel agama Allah SWT. Sahabat Ali RA, pernah mengingatkan kita dengan mengungkapkan sebuah wasiatnya: “Jangan sampai kalian menjadi budak orang lain, padahal kalian diciptakan Allah dalam keadaan merdeka”.
Islam secara tegas memerangi segala macam bentuk penjajahan. Tidak hanya penjajahan secara fisik saja. Tetapi di mana saja manusia merasa dirampas dan diinjak-injak hak-haknya, baik secara politik, ekonomi, ideologi, dan sosial. Dengan lantang Islam menyuarakan kemerdekaan dan melawan segala bentuk penjajahan tersebut. Dari sekian bentuk penjajahan di muka bumi ini yang paling berbahaya adalah keterkungkungan dalam sisi ideologi (kepercayaan). Karena disinilah akar dari segala bentuk penjajahan lainnya. Pasalnya, manusia yang mau diperbudak secara ideologi akan menjadikannya tunduk dan bertekuk lutut. Bahkan demi mempertahankan ideologi, manusia rela mengorbankan nyawanya. Oleh karenanya, sejak awal Islam memberikan kemerdekaan dalam ideologi. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT, “maka apakah kamu hendak memaksa manusia agar mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya”.  
Islam juga sangat menghargai kemerdekaan manusia dalam lini yang lain, baik ekonomi, sosial, politik, budaya, sebagaimana yang pernah diujarkan Nabi “Sesama umat Islam tidak boleh melanggar darah, harta, dan kehormatannya”. Ini berarti Islam sangat menghargai HAM, jiwa, harta, dan kehormatan yang tidak boleh diinjak-injak oleh orang lain. Bukan saja antara sesama muslim melainkan kepada manusia secara keseluruhan. Meskipun telah merayakan kemerdekaan yang ke 68 kali, namun belum menemui tujuan akhir, sebab cita-cita luhur pejuang bangsa terdahulu belum tercapai yaitu membangun bangsa Indonesia yang mandiri tanpa tercabik-cabik oleh kekuatan lain, baik dari sisi politik, ekonomi, sosial, budaya, dan sisi ideologi sebagaimana kemerdekaan yang diidealkan Islam. Menengok realitas yang terjadi Indonesia baru sampai setengah perjalanan saja, belum sampai kemerdekaan sejati.
Kemerdekaan yang diraih melalui pengorbanan para pejuang adalah suatu kenikmatan agung. Sehingga, cara kita mensyukurinya dengan mendayagunakan nikmat yang diperoleh ke arah ridha Allah SWT bukan berhura-hura dan berpesta fora. Ada beragam media untuk menampakkan rasa syukur kita. Pertama, syukr al-Qalbi, dengan cara merenungi kebesaran Tuhan, berkomitmen tinggi. Kedua, syukr al-Lisan, dengan cara mengagungkan Allah, berdzikir, bertasbih, dan sebagainya. Ketiga, syukr al-Badan, dengan cara melaksanakan amal kebajikan sesuai tujuan kenikmatan itu diberikan. Keempat, syukr Bil Mal, dengan cara mendermakan harta yang kita miliki ke jalan Allah SWT. Kelima, syukr al-Nafs, dengan cara meninggalkan buaian syahwat.  
Sudah menjadi tradisi yang tidak terlepas di setiap bulan kemerdekaan, bangsa Indonesia memarakkannya dengan berbagai akktivitas. Secara umum ada tiga bentuk perayaan yang dilakukan masyarakat umum. Pertama, peringatan bersifat seremonial, semacam upacara. Bentuk ini penting dilestarikan karena peringatan kemerdekaan dapat menjadikan renungan bagi kita, pelajaran untuk menapaki langkah ke depan, dan mengenang jasa-jasa para pejuang. Kedua, peringatan yang memberikan manfaat, baik secara vertikal maupun horizontal, semacam mengadakan pengajian, tahlil, berziarah ke makam pahlawan, menyantuni fakir miskin dan anak yatim. Bentuk kedua ini yang harus selalu dikembangkan sebagai bentuk rasa syukur kita atas nikmat kemerdekaan. Semakin kita bersyukur niscaya Allah akan semakin melimpahkan kenikmatan-Nya.
Ketiga, peringatan yang berbentuk hura-hura. Semacam karnaval, aneka macam lomba, pagelaran musik, pesta pora dan bentuk kegiatan lain yang mengekspresikan kegembiraan. Kegembiraan semacam ini adalah hal mubah senyampang tak melanggar aturan syara’, semisal mabuk-mabukan, menghambur-hamburkan uang. Sementara di sekeliling kita masih banyak masyarakat yang membutuhkan uluran tangan. Wal hasil, peringatan kemerdekaan merupakan hal yang harus dilestarikan sebagai wujud syukur kita kepada Allah SWT., disamping kita harus sadar akan tujuan para founding father kita membangun negeri ini. Dengan rela para pejuang mengorbankan jiwa dan raganya demi membela harga diri bangsa. Alangkah naifnya, jika kita berhura-hura dengan bertopeng peringatan kemerdekaan, sementara kita alpa akan spirit kemerdekaan sejati.               

 * Sarjono adalah pekerja sosial dan jurnalis warga







Tidak ada komentar: