MEDIA LOKAL RAMAH & AKURAT

Kamis, 11 April 2013

Sambi, Kearifan Lokal yang Nyaris Punah

SAMBI, Warisan yang Tergerus Zaman


GANGGA (KM Murmas), WARGA LOMBOK UTARA memiliki warisan leluhur yang dipergunakan sebagai tempat menyimpan padi. Warisan ini oleh sebagian orang dinilai miliki nilai kearifan lokal. Bangunan ini dinamai Sambi. Sambi itu dijadikan gudang pangan saat gagal panen. Sekarang bangunan yang berguna sebagai tempat penyimpanan padi itu rupanya mulai tergerus oleh kemajuan zaman modern, buktinya telah banyak ditinggalkan orang. Kemudahan akses transportasi dan pasar membuat masyarakat mendapatkan bahan kebutuhan seperti pangan, sehingga banyak para pewaris tidak lagi menggubris bangunan kuno tersebut.
            Bangunan berbentuk persegi empat itu terlihat kumuh. Atap ilalangnya rontok. Pagarnya terbuat dari bambu dibangun dengan bentuk kotak. Dari penulusuran Sambi Warga bangunan itu sudah bolong di beberapa bagian. Tiangnya pun oleng. Melihat di balik lubang hanya ada ruang kosong yang hanya berisi udara saja. Tak ada padi laiknya bangunan yang lain. Bangunan itu dikenal masyarakat Kecamatan Gangga sejak masa silam, lumbung padi atau tempat penyimpanan gabah sebelum digiling. Posisinya cukup tinggi dari tanah, tertutup rapat, membuat tikus sangat kesulitan masuk menggerogoti gabah yang tersimpan. Sistem penyimpanan di sambi menjadi kebiasaan di warga Gangga dan masyarakat di tempat lainnya di Lombok Utara.
            Saat butuh makan, gabah di dalam sambi diambil secukupnya. Kemudian digiling menggunakan lesong (rantok, lesung panjang laiknya perahu). “ Dahulu setahun kami tidak membeli beras, ada cadangan di sambi, ” kata Inak Ramik, Warga Rempek. Padi yang disimpan di sambi sudah diperkirakan cukup untuk cadangan pangan keluarga selama setahun. Sementara lauk pauk dan sayur mayur masih bisa disediakan pekarangan rumah atau areal sawah. Hasil ternak juga masih cukup.
            Padi dipanen dengan dipotong menggunakan anai-anai, kemudian disimpan di dalam sambi. Ada juga warga yang menyimpan di dalam karung lalu dimasukkan ke dalam bangunan yang berada di bagian sisi rumah itu. Zaman dulu, satu rumah biasanya memiliki satu sambi. Pemandangan seperti itu lumrah dijumpai di kampung-kampung tradisional di dayan gunung, khususnya di Gangga, Kayangan dan Bayan.
            Namun, kini sangat jarang bahkan langka para kepala keluarga memanfaatkan sambi di dua desa itu. Jika dulu para keluarga belum tenang sebelum sambi kosong, tapi kini justru jarang sambi yang sengaja diisi. Bahkan fenomena ini pertanda mereka akan meningggalkan tradisi nenek moyang.
            Sambi yang rusak pun tidak diperbaiki. Bahkan kebanyakan warga di dua desa ini  tidak lagi memiliki sambi. Ini menandakan tradisi menyimpan padi di sambi perlahan-lahan mulai bergeser. Kemudahan warga mendapatkan bahan makanan menjadi salah satu penyebab. Jika dulu kawasan Gangga dan Kayangan berada di tengah kawasan hutan lebat, akses transportasinya cukup jauh, kini amat mudah diakses. Begitu juga dengan sambi di Bayan, perlahan tetapi pasti mulai berkurang. Kesan yang muncul kemudian, Sambi adalah pasangan setia rumah tradisional berbahan bambu yang cukup bersejarah.
            Hilangnya sambi juga berimplikasi pada sistem panen petani. Dulu para petani panen menggunakan anai-anai dan pisau kecil untuk memotong tangkai padi. Tidak dengan merontokkan bulir padi (sistem merompes). Seluruh padi yang tersimpan di dalam sambi diikat dengan kuat. Setidaknya ada alasan logis yang membuat sambi masih bertahan hingga saat ini dibeberapa tempat di Gangga, yaitu padi yang disimpan di dalam sambi tidak cepat rusak karena masih yang bertangkai lengkap dengan bulunya. (dj) 

Tidak ada komentar: