MEDIA LOKAL RAMAH & AKURAT

Senin, 11 September 2017

**Pilkades dan Membangun Kemandirian Desa


DI AKHIR tahun 2017, setidaknya ada enam desa di Kabupaten Lombok Utara akan melangsungkan pesta Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) serentak. Selain di Desa Sambik Bangkol, beberapa desa yang penulis ikuti dinamika demokrasinya antara lain Desa Akar-akar, Loloan, Sokong, Medana, dan Desa Teniga. Atribut-atribut politis berbumbu janji-janji mulai bertebaran dimana-mana seperti spanduk, baliho, poster, dan atribut-atribut lain yang melambangkan masing-masing bakal calon menghiasi sudut-sudut pemukiman masyarakat. Mulai dari pagar-pagar rumah penduduk, pasar, gardu, perempatan jalan, dan ruang-ruang publik lain. Nyaris hampir tidak ada yang luput. Semarak Pilkades ini di satu sisi menunjukkan hidupnya ruang-ruang demokrasi warga, tetapi disisi lain, libido tokoh-tokoh yang bakal meramaikan kontestasi pilkades merebut tahta desa tampaknya amat ambisius.    
Pilkades dalam konteks ini merupakan wujud nyata dari partisipasi masyarakat dalam membangun demokrasi lokal di aras desa. Idealisasi yang diharapkan dalam rangka  membangun kemandirian desa dalam bingkai otonomi desa. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah mengapa desa menjadi penting ? Karena secara historis, desa adalah cikal bakal terbentuknya masyarakat politik dan pemerintahan di Indonesia jauh sebelum negara bangsa (nation-state) ini terbentuk. Karenanya, desa merupakan wilayah tempat pelaksanaan asas otonomi asli dengan segala keragaman adat, tradisi dan sosial budaya masyarakatnya atau prinsip dasar penyelenggaraan desa berdasarkan otonomi murni dengan kultul lokal yang unik dan beragam. 
Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Disinilah, maka ada satu hal perlu dicatat bahwa di dalam apa yang disebut kultur lokal itu seringkali tersimpan pengalaman, jejak-jejak, kreativitas, dan pencapaian tertentu dari para jenius lokal dalam mengembangkan pendangan hidup, tata berfikir, dan juga sistem sosial tertentu. 
Dengan kenyataan semacam itu, maka yang terpenting untuk saat ini adalah bagaimana memberikan satu perspektif baru bahwa untuk menciptakan good governance, mendorong perubahan, melakukan transformasi sosial serta mewujudkan desentralisasi perlu dilakukan pembaruan pada level desa, yakni kemandirian dan pembaruan desa. Dan ajang pilkades yang bersih, dewasa, demokratis, elegan dan matang diharapkan dapat menjadi pintu masuk untuk itu. 
Persoalan kemandirian menjadi penting karena selama ini nasib desa acap tidak luput dari investasi daerah kabupaten/kota. Kehadiran dan campur tangan daerah yang dirasa begitu besar telah membawa implikasi lemahnya kemandirian dan kemampuan masyarakat desa. Kondisi ini sangat jelas terlihat selama rezim orde baru berkuasa dan bahkan pada rezim reformasi pun kabupaten masih cukup dominan melakukan intervensi terhadap hakat hidup masyarakat desa. Semisal, berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2004, penguasa daerah melakukan pelbagai kebijakan yang kurang berpihak pada desa. Daerah, dalam hal ini pemerintah kabupaten benar-benar telah menjadi sumber dari semua kekuasaan dan kebijakan yang berjalan di desa. 
Subordinasi dan intervensi daerah (kabupaten) yang dirasa cukup berlebihan atas desa dalam perjalanannya ternyata sedikit banyak telah menimbulkan banyak persoalan. Diantaranya terjadinya pemandulan desa yang sebelumnya hadir sebagai institusi pemerintahan lokal yang otonom. Seringkali daerah kabupaten juga kurang menghiraukan heterogenitas masyarakat desa. Karena itu pemahaman tentang otonomi desa (otonomi murni) yang selama ini masih terkesan formalistik, simbolik, lokalis dan romantis harus dikaji ulang. Otonomi bukan hanya sekedar automoney. Demikian juga kemandirian juga bukan berarti kesendirian. 
Otonomi desa dalam hal ini harus lebih dimaknai sebagai relasi antara desa dan daerah (kabupaten dan provinsi) yang mencerminkan keadilan dan pemerataan. Otonomi bukanlah sekedar swadaya atas dasar prakarsa sendiri tetapi pembagian kekuasaan dan sumberdaya yang adil kepada desa. Otonomi desa harus lebih dipahami sebagai suatu keleluasaan (discretionary), kekebalan (imunity), dan kemampuan (capacity) desa dalam mengambil keputusan serta menggunakan kewenangan untuk mengelola segenap potensi sumberdaya lokal desa. Ketiga hal tersebut yang kiranya akan lebih membuat eksistensi desa lebih kuat, maju, mandiri, dan demokratis sehingga dapat menciptakan landasan yang kuat dalam melaksanakan pemerintahan dan pembangunan menuju masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera. Untuk menopang eksistensi desa dalam menggunakan kewenangannya mengelola segenap potensi sumberdaya yang dimiliki, diperlukan adanya proteksi dan pemberdayaan yang fokus dari negara (kabupaten-provinsi-pusat), sehingga dapat menjadi desa kuat, desa maju, desa mandiri, dan desa demokratis.     
Beberapa hal di atas menjadi penting karena selama ini kenyataan menunjukan bahwa kerapkali terdapat kekeliruan dalam orientasi pembangunan desa. Pembangunan yang telah lama menjadi sindrom masyarakat desa ternyata lebih diorientasikan ke penampilan fisik, bukan pada social sustainability. Akibat kemudian adalah masyarakat desa menderita kemiskinam mental, kepribadian, etika, moralitas, dan idealisme karena miskinnya proses pembelajaran sosial dalam pembangunan lantaran orientasi fisik telah menggerus segalanya. Bahkan, disain berbagai kebijakan dan program pembangunan desa pun jarang diterapkan secara berkelanjutan, melainkan menyerupai patahan-patahan proyek jangka pendek. Negara tidak mempunyai kerangka pengaturan tentang desa yang kokoh dan berkelanjutan, melainkan pola pengaturan darurat bahkan sering terjadi bongkar pasang kebijakan. 
Atas dasar itulah, maka ada beberapa prinsip yang perlu dipertimbangkan dalam rangka membangun kemandirian desa dan agar desentralisasi desa itu lebih bermakna. Pertama, perlu dibuat pemerintahan non hirarkhis dengan cara membagi kewenangan secara proporsional antara daerah dan desa. Kedua, perlu diciptakan local self government di desa yang berbasis self governing locally. Ketiga, perlunya penghargaan terhadap keunikan dan keragaman basis sosio kultural lokal desa. Dan, keempat, perlu membuat subsidiarity (pengambilan keputusan dan penggunaan kewenangan ala desa). Selain itu, yang juga sangat penting diatensi untuk membangun kemandirian desa adalah bahwa segala bentuk pembangunan harus berorientasi pada pemberdayaan masyarakat, berbasis partisipasi masyarakat, serta harus ditopang dengan nilai-nilai demokrasi (akuntabilitas, transparansi, responsivitas dan lokus representasi). 
Namun demikian, penting juga untuk dicatat bahwa pembaruan desa sebagai upaya menciptakan kemandirian tidaklah identik dengan romantisasi tata pemerintahan masa lampau. Yang terpenting, apapun pilihan format penyelenggaraan pemerintahan desa yang dikehendaki dan kemanapun arah pembaruan yang hendak dicanangkan, keterlibatan masyarakat adalah sebuah keniscayaan. 
Dengan begitu, sendi utama dari pembaruan dan kemandirian ialah sinergi. Pembaruan tidak bisa lagi didisain secara sepihak oleh pemerintah. Sebaliknya, berbagai inisiatif lokal dan corak khas dari setiap lokalitas pun harus pula dipastikan memiliki sambungan dengan tatanan makro yang hendak dipolakan. Dan, kita berharap pilkades (serentak) yang sebentar lagi marak di Kabupaten Lombok Utara mampu berjalan dengan dewasa, arif, elegan, dan demokratis sehingga bisa menjadi fajar baru bagi lahirnya kemandirian desa. SEMOGA...! 

Sarjono, S.I.Kom adalah Direktur KIM Sambiwarga
  

      

Tidak ada komentar: