MEDIA LOKAL RAMAH & AKURAT

Minggu, 17 Maret 2019

Bencana Senyap dari Gunung Rinjani

"Tindakan preventif mitigasi jauh lebih elegan tinimbang tindakan kuratif dan rehabilitatif pada saat terjadinya bencana, terlebih dalam situasi golden hour." (penulis)

MESKI relatif jauh dari permukiman, Gunung Barujari yang tumbuh di dalam kaldera Gunung Rinjani juga menyimpan bahaya mematikan. Bencana itu dapat berupa banjir lahar yang mengancam desa-desa di sekitar aliran sungai yang berhulu di Gunung Rinjani. Pada 8 Juni hingga 11 Agustus 1994, Gunung Barujari meletus hebat. Letusan itu kemudian disusul hujan lebat di puncak Gunung Rinjani pada bulan-bulan berikutnya. Setali tiga uang, pada 3 November 1994, banjir lahar menyapu desa-desa di sepanjang Sungai Tanggik, Lombok Timur, yang berhulu di Gunung Rinjani. Bencana itu menelan 31 korban jiwa dan tujuh lainnya menderita luka berat. Banjir juga dinyana merusak ribuan hektar lahan pertanian, saluran irigasi, dan bendungan. Desa yang terparah disapu banjir lahar ketika itu ialah Mamben Daya dan Mamben Lauk, Apittaik, Kembangkerang, Aikmel Daya, dan Aikmel. Seorang mantan guru SDN Semper Aik Perapa, mengisahkan, saat itu cuaca di desanya panas terik. Namun, mendung terlihat menggelayut di sekitar puncak Gunung Rinjani. Tiba-tiba saja pohon kelapa tampak seperti berjalan dari arah hulu Sungai Tanggek, dimana pada saat kejadian berada di depan sekolah Semper Aik Perapa, sekitar 200 meter dari sungai. Warga setempat panik karena saat itu banyak anak didik sekolah bersangkutan tengah berada di sungai. Warga lalu berteriak untuk memberi peringatan, namun sayangnya terlambat. Nyaris delapan anak didik SDN Semper tewas terseret banjir lahar. Warga Aik Perapa lainnya berujar seorang warga tengah di pinggir saat tiba-tiba mendengar suara gemuruh sangat keras dari hulu sungai. Warga tersebut kemudian bergegas naik ke tebing sungai. Hanya sekitar lima menit setelah naik ke tebing, banjir lahar menyapu sungai. Warga itu pun berhasil menyelamatkan diri, tetapi kedua temannya hilang dan berakhir ditemukan tewas. Petaka itu juga masih diingat warga Aikmel Utara. Waktu itu, warga setempat baru saja mendapatkan kabar, banjir lahar telah melanda Desa Aik Perapa yang berada di hulu dan segera mengumumkan peristiwa banjir lahar tersebut melalui pengeras suara di masjid agar warga menjauh dari sungai. Sebagian warga yang tengah mandi dan mencuci di pinggir sungai bergegas naik ke tebing setinggi 8 meter. Benar saja, tidak sampai 15 menit setelah pengumuman disampaikan, banjir lahar menyapu deras desanya.
Menganalisa peristiwa alam banjir lahar gunung Barujari tersebut dari sudut pandang vulkanologi, Heryadi Rahmat dari Museum Geologi Bandung, berpandangan bahwa letusan Gunung Barujari tidak secara langsung membahayakan warga di sekitar Gunung Rinjani. Tetapi ihwal bahaya perlu mendapat atensi warga lantaran hal yang mengkhawatirkan adalah fenomena banjir lahar yang bisa datang tiba-tiba dan sulit diprediksi.

Menakar Keberulangan Letusan Dahsyat Samalas

Hasil riset yang dipublikasikan pada Proceeding on the National Academy of Sciences (2013), mengungkap bahwa Gunung Samalas bertanggung jawab atas erupsi misterius pada abad ke-13 yang memicu musim panas, musim dingin dan gagal panen. Dalam publikasi itu dijelaskan bahwa Samalas yang dahulu merupakan tetangga Gunung Rinjani di Nusa Tenggara Barat diperkirakan meletus antara Mei hingga Oktober  tahun 1257. Letusannya mencapai skala 7. Sebagai perbandingan, letusan Merapi tahun 2010 tercatat pada skala 4. Dalam letusan diketahui Samalas melontarkan materi batuan hingga 40 kilometer kubik, sementara kolom erupsi terbentuk hingga ketinggian 43 km. Debris letusan mencapai kutub yang kemudian memungkinkan ilmuwan menyimpulkan bahwa Samalas-lah yang berperan melumpuhkan dunia kala itu.
Dalam catatan VMBG menjelaskan hasil penelitian para peneliti gunung api dunia tersebut menambah "daftar buruk" perilaku gunung api di Indonesia dan juga memasukkan Samalas dalam katalog letusan besar gunung api dunia. Indonesia selama ini memang dikenal dengan gunung dengan letusan besar. Dari Toba, Tambora, hingga Krakatau. Jikalau dilihat dalam skala geologi, letusan-letusan di Indonesia itu sangat recentif. Bila letusan Samalas tersebut terulang pada masa modern, dampaknya tak terkirakan. Letusan Merapi saja sudah mampu membuat 1.000 orang mengungsi. Artinya kalau letusan seperti Samalas terulang, yang bisa kita bayangkan adalah fenomena porak poranda. Efek domino lanjutan,  semua penerbangan lumpuh, tak beroperasi. Kerugiannya pun diestimasi sungguh besar. Manusia bisa berharap bahwa letusan seperti Samalas takkan terulang. Namun, kewaspadaan tetap harus jadi atensi bersama. Oleh karenanya, penelitian lanjutan tentang sejarah letusan Samalas perlu dilakukan untuk mengetahui apa yang mungkin terjadi pada masa depan. Kita mesti meyakini bilamana gunung di suatu daerah pernah mengalami letusan besar, maka potensi anak gunung dari daerah itu juga bisa memicu letusan meskipun waktunya belum bisa diperkirakan oleh manusia. Gejala ke arah itu pun telah muncul, tak ada kata lain kecuali tanggap terhadap simbol alam sebagai alarm bagi kita untuk mengambil langkah antisipatif - bila sewaktu-waktu hal terburuk terjadi dalam keseharian kita. Maka, tindakan preventif mitigasi jauh lebih elegan bagi kita tinimbang tindakan kuratif dan rehabilitatif pada saat terjadinya tragedi bencana, terlebih dalam situasi golden hour kebencanaan. (kimsw_19)

Tidak ada komentar: