MEDIA LOKAL RAMAH & AKURAT

Minggu, 17 Maret 2019

Antara Anak Krakatau dan Anak Samalas

Dalam kajian filsafat perenial, diterangkan bahwa anak selalu memiliki kesamaan karakteristik dengan ibunya. Namun, bagaimana dengan anak gunung? Apakah selalu demikian? Dua pertanyaan cukup menggelitik ini perlu diulas dari perspektif ilmu pengetahuan (vulkanologi dan geologi) agar diperoleh jawaban yang memenuhi kaidah ilmiah sehingga dapat diterima oleh banyak kalangan, terutama mereka yang tergolong masyarakat ilmiah atau masyarakat yang mempercayai kebenaran sebuah fenomena kehidupan hanya jika benar menurut sudut pandang ilmu pengetahuan.

Bila bicara tentang Anak Krakatau, informasi yang terdapat dalam Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMGB), menerangkan bahwa anak dari gunung yang pernah meletus dahsyat tahun 1883 tersebut memiliki kesamaan karakteristik dengan ibunya. Misalnya dari sisi kandungan magma, Anak Krakatau dan Krakatau sama-sama didominasi oleh silika. Kandungan silika yang besar terkait erat dengan letusan yang besar. Kita tahu bahwa letusan Krakatau dahulu kala itu mematikan makhluk hidup di sebagian besar penjuru bumi. Diproyeksikan akibat letusan Krakatau dunia sempat gelap selama dua hari karena tertutup oleh abu vulkanik. Sementara itu, letusan juga memicu gelombang tsunami yang tercatat menewaskan 36.000 orang. Dengan magma yang juga kaya silika, Anak Krakatau di masa depan juga berpotensi meletus dahsyat. Keaktifan Anak Krakatau sudah tak bisa diragukan lagi. Gempa vulkanik akibat Anak Krakatau dalam sebulan saja bisa mencapai ribuan kali, di antaranya letusan Anak Krakatau yang terjadi pada September 2012. Menurut Vulkanolog Jerman, Edward Gramsch, bahwa letusan itu merupakan tipe vulkanian, ditandai dengan erupsi lava pijar yang disertai lontaran abu vulkanik yang membubung tinggi ke angkasa.

Dalam pada itu, sebagian besar orang telah tahu banyak hal tentang Anak Krakatau, tetapi tak banyak hal yang terungkap dari Barujari, si "Anak Samalas". Gunung Samalas dahulu terletak berdekatan dengan Gunung Rinjani di Pulau Lombok Provinsi Nusa Tenggara Barat. Diprediksi pada tahun 1257, gunung tersebut meletus. Letusannya membentuk kaldera berupa Danau Segara Anak. Dari danau ini, Barujari alias Anak Samalas kini menyeruak dan menjadi populer, terutama di kalangan ilmuan geologi dan vulkanologi. Meskipun demikian, dalam jangka waktu dekat, Barujari tak bisa dibilang ancaman. Sebab salah satu parameter untuk letusan besar adalah ukuran kantung magma. Besarnya kantung magma di antaranya bisa dilihat dari ketinggian gunung dan kecepatan pertumbuhannya. Bila dikomparasi, Anak Krakatau tumbuh cepat pasca Krakatau meletus tahun 1883. Anak Krakatau pun telah lahir di tahun 1930. Hingga saat ini, Anak Krakatau sudah mencapai ketinggian 305 meter. Ketinggian tersebut bisa menjadi cerminan kantung magma yang besar serta keaktifan gunung. Sementara Samalas meletus pada abad ke-13, sehingga sekarang sudah berusia 700 tahun atau 7 abad lebih. Fakta empiris Barujari belum sebesar Anak Krakatau sehingga kemungkinan kantung magmanya tidak besar. Namun, Barujari seperti halnya Anak Krakatau akan terus tumbuh. Seiring pertumbuhannya, bukan tidak mungkin Barujari bisa menjadi ancaman di masa depan. Bahwa konklusi Barujari tak akan menyebabkan bencana belum bisa ditarik lantaran banyak hal masih dalam misteri. Oleh karena itu, saat ini sejumlah peneliti tengah melakukan riset terkait Samalas dan perilakunya di masa lalu. Sebetulnya kita bisa membuat kesimpulan awal, bahwa masa kini adalah kunci untuk memahami apa yang terjadi di masa lalu, dan masa kini juga dapat menjadi kunci untuk memahami masa depan. Jadi, riset lanjutan terkait perilaku Samalas di masa silam niscaya dilakukan untuk mengetahui proyeksi fenomena apa yang terjadi di masa depan. (kimsw_19)

Tidak ada komentar: