MEDIA LOKAL RAMAH & AKURAT

Kamis, 27 Agustus 2015

Pilkada dan Budaya Demokrasi Bangsa


Dalam bulan-bulan mendatang di Lombok Utara, Lombok Tengah, Sumbawa Barat, Sumbawa, Dompu dan Bima bakal digelar pemilihan kepala daerah atau pilkada langsung secara serentak.
Bukan sesuatu yang baru apabila pada saat-saat demikian calon-calon pimpinan daerah berjuang untuk menarik simpati rakyat, lantaran mereka ini membutuhkan suara mereka untuk mendukungnya menjadi pejabat daerah. Orang yang tengah memburu jabatan pantas diingatkan akan pepatah Jawa yang mengingatkan akan janji mereka ketika mereka susah. ‘Yen susah manembah, bareng mukti tali ngabekti’.
Bukan suatu kebetulan apabila manusia memilih seorang pimpinan yang baik harus ingat akan pedoman ‘darmaning pemimpin’ yang sudah sejak lama digariskan leluhur. Bahwa pemimpin yang baik itu adalah mereka yang mau sadar diri, mengakui kekurangan. Tidak cukup hanya mengandalkan kekuatan pikiran dan kepandaiannya semata. Tetapi perlu mengasah diri untuk selalu introspeksi diri, berkaca kepada kekurangan yang senantiasa mengikuti dirinya. Ia berani ‘ngerucat diri’.
Memang sulit melihat kekurangan dan kesalahan diri sendiri. Yang umum, orang senang melihat keunggulannya sendiri. Tetapi biasanya orang menghindari kelemahan diri. Akibat jangka panjangnya, lupa dengan daratan dan kenyataan. Bila mampu berkaca kepada bulu kuduknya sendiri, bisa menjadi ‘lembah manah, ‘andhap asor’ hati lapang, seluas samudera. Dan  kemudian memahami betapa berharganya hidup manusia serta jagat yang tercipta.
Peringatan kedua tentang pemimpin adalah bahwa ia harus mampu menghadapi ‘bawana obah’, arus zaman. Ia harus berani menghadapi arus zaman, terbuka terhadap perubahan, jangan sampai terseret dalam arus yang menginjak-injak harkat kemanusiaan. Berani terbuka, hormat kepada sesama dan melawan keangkaramurkaan. Yang ketiga, hormat kepada sesamanya. Pasalnya, sekarang banyak orang mengaku cinta sesama, tapi hanya yang satu golongan, satu agama, satu ras, satu etnis saja. Hormat berlandaskan keyakinan bahwa manusia itu bersumber satu, yaitu Allah Swt. Kalau Yang Membuat Hidup cinta pada orang yang berbuat sengsara kepada kita, mengapa kita berani membalas memusuhi?
Yang terakhir adalah pengorbanan tanpa pamrih. ‘ngoyak galihing kuwasa’. Ini dilandasi pada cita-cita luhur bahwa hidup di masyarakat itu sesungguhnya adalah pengorbanan tanpa mengharapkan imbalan apapun. Dengan begitu ngoyak galihing kuwasa bukan ambisi untuk mencari kekuasaan dalam rangka mengumpulkan harta benda. Mengejar inti kekuasaan tidak lain berani mengorbankan harta kekayaan diri demi kesejahteraan rakyat. Ini mungkin yang bisa menjadi pokok pedoman kita secara utuh siapa nanti yang bakal menjadi pemimpin. Bukan lagi kepada siapa mereka akan dibayar tinggi untuk memilih.
Masih adakah para pemimpin yang mengedepankan darma yang tergurat dalam nilai-nilai luhur ini. Dan, sejauh mana ‘money politic’ sudah merasuk ke dalam wilayah budaya bangsa. Nilai-nilai luhur bangsa yang bertentangan dengan tradisi suap memang sedang berpacu di negeri ini. Tinggal bagaimana kearifan bangsa ini berkembang. Kalau hanya demi kepentingan sesaat, tentu zaman salah kaprah akan terus berjalan. Tetapi, demi kepentingan luhur bangsa supaya bangsa ini lepas dari jeratan kehancuran, sebaiknya nilai luhur warisan budaya pantas kembali mengemuka.
Semoga masyarakat kita semakin pandai dan semakin bijak dalam memilih pemimpin masyarakat nantinya. Yang perlu ditekankan yang kalah ya harus legawa. Lantaran budaya pemerintahan di Indonesia ini adalah gotong royong. Dan budaya politiknya adalah musyawarah. Kalau kalah bagaimanapun harus mendukung yang menang, sebaliknya jangan malah menjegalnya. Apalagi pakai mengamuk, merusak, mengintimidasi dan sejenisnya. Ini jauh dari budaya demokrasi di negeri yang bermartabat ini. SEMOGA ...!
   


Tidak ada komentar: