MEDIA LOKAL RAMAH & AKURAT

Kamis, 27 Agustus 2015

PILKADA SERENTAK : MOMENTUM MERETAS POLITIK TRANSAKSIONAL*

AKHIR-AKHIR ini, politik transaksional dalam pemilu/pemilukada menjadi bahasan serius berbagai kalangan baik di sosial media, institusi sosial, forum-forum ilmiah dan institusi akademis perguruan tinggi di Indonesia. Isu ini menjadi hangat diperbincangkan karena melihat sepak terjang partai politik dan rekam jejak (track record) politisi lima tahun terakhir dalam menjalankan amanah rakyat. 

Jika kita menakar kembali peran partai politik ditinjau dari sisi komunikasi politik dan paradigma sosial kemasyarakatan, maka sangat jelas bahwa modus politik transaksional telah mencederai fungsi partai politik sebagai saluran politik maupun lokus edukasi politik rakyat. Politik transaksional yang marak terjadi pada setiap momentum demokrasi pasca reformasi – entah pemilu legislatif, pemilu presiden dan pemilukada – jelas-jelas merupakan momok dan tantangan berat para aktivis politik (komunikator politik – politisi, tokoh masyarakat, tokoh pemuda, mahasiswa maupun stakholders terkait lainnya).

Di tinjau dari sisi fungsi edukasi politik misalnya, politik transaksional telah mencederai sistem pendidikan politik bagi masyarakat. Maka kewajiban bagi semua pihak untuk memberi anjuran agar momentum Pilkada Serentak Tahun 2015 di NTB khususnya di Kabupaten Lombok Utara dapat dengan maksimal dijadikan sebagai ajang untuk meminimalisasi praktik politik transaksional, pasalnya selama praktik politik demikian masih saja dikedepankan, maka proses pendidikan politik gagal diimplementasikan. Oleh karena itu, para aktivis politik dari pelbagai kalangan yang ada di daerah ini harus berkomitmen dan konsisten mendorong agar partai politik dan calon yang diusung niscaya harus memperhatikan rambu-rambu estetika, etika dan moralitas dengan cara-cara yang elok, elegan, mengedepankan silaturahmi serta pendekatan langsung kepada masyarakat secara santun dan bijak. Selain itu, perlu adanya solusi yang benar untuk memecahkan problematika yang seolah-olah menjadi praktik yang lumrah terjadi secara terstruktur dan sistemik setiap kali pemilu /pemilukada berlangsung tanpa berujung.

Dalam pendekatan tatap muka langsung (direct face to face), silaturahmi sebagai pohon dan komunikasi santun yang menyiraminya. Maka, dalam kontestasi pilkada serentak tahun 2015 ini, komunikasi langsung kepada masyarakat penting sekali dilakukan untuk menyerap aspirasi dan memetakan kebutuhan masyarakat yang amat beragam. Contoh kasus problem kemiskinan misalnya, para kandidat kepala daerah dan wakil kepala daerah mesti berpikir mencari terobosan jitu bagaimana menciptakan lapangan kerja baru dan menyiapkan tenaga kerja siap pakai sesuai dengan standar dan kebutuhan daerah sebagai jalan keluar mengatasi kemiskinan dan penangguran daerah yang hingga kini masih tinggi. Kabupaten Lombok Utara sebagai salah satu daerah di Nusa Tenggara Barat dengan tingkat kemiskinan yang masih relatif tinggi harus mampu mengatasi persoalan pelik ini. Bagaimana caranya. Tentu cara yang paling tepat adalah meningkatkan standar pendidikan masyarakat, menyediakan lapangan kerja baru seperti mendirikan BUMD, membuka peluang wirausaha baru, menyediakan fasilitas pengelolaan usaha kecil menengah dan tentunya yang lebih penting menyiapkan tenaga kerja terampil agar terserap di internal daerah sebagai pengejawantahan makna otonomi luas dan nyata. Menurut hemat Penulis, tiada cara lain kecuali dengan cara-cara di atas. Sebab potensi sumberdaya alam dan sumberdaya ekonomi lokal Kabupaten Lombok Utara sungguh luar biasa melimpah. Tinggal bagaimana pemimpin daerah ini kedepan mampu mengelola pelbaga potensi yang ada. Sebagai daerah otonomi baru, tentu jalan panjang menuju penataan segenap potensi yang ada masih terbentang luas.                            

          Kemudian, problem lain yang juga penting mendapatkan atensi kita adalah fungsi partai politik dalam memajukan pembangunan daerah, dimana salah satu fungsi partai politik yang mendasar adalah fungsi kaderisasi dalam rangka mencetak politisi-politisi ulung dikemudian hari, disamping mengedepankan edukasi politik secara langsung kepada masyarakat.

          Pemilu 2014 lalu menjadi contoh konkret betapa partai politik belum maksimal melakukan kaderisasi (mengajak orang-orang yang punya bakat dan talenta untuk masuk dalam gerbong politik), semisal pada tataran rekrutmen Caleg. Banyak sekali partai politik yang malah mengambil caleg dari orang luar partai sendiri tanpa latarbelakang pengetahuan politik yang mumpuni. Ini bisa dilihat dari banyaknya partai politik yang justru mengambil caleg dari luar partainya, padahal kader internal partai ada kalau tidak dikatakan banyak. Preseden buruk yang timbul kemudian adalah banyaknya kader internal partai hengkang dari partainya lalu memutuskan bergabung dengan partai lain yang dirasa dapat memberikan rasa nyaman serta mengakomodir kepentingannya. Fenomena kutu loncat ini juga bisa terjadi karena kenakalan politikus partai tertentu. Namun, satu hal yang patut diukir dalam untaian memori kita – fakta rekutmen caleg dari luar partai – tidak serta merta murni karena kesalahan kaderisasi disamping juga faktor kenalakan politikus tertentu.

          Berkaitan dengan konteks ini, maka semua pihak termasuk para pemuda dan mahasiswa harus ambil peran secara maksimal untuk mengawal proses politik secara berkesinambungan sembari melakukan pengawasan terhadap praktik politik yang tidak beretika. Artinya semua kalangan harus menjadi ujung tombak strategis dalam mengikis praktik politik transaksional di bumi Tioq Tata Tunaq, kini dan masa mendatang, terlebih lagi hampir di seluruh wilayah Kabupaten Lombok Utara didominasi oleh pemilih tradisional (± 70 %). NAH, pemilih dengan tipe tradisionalis inilah yang menjadi objek empuk praktik-praktik transaksi politik para politikus kerap terjadi di setiap momentum pesta demokrasi. Hingga tidak pelak lagi rakyat laiknya – membeli barang di pasar gelap – tapi apa hendak dikata dari pengalaman yang sudah-sudah di daerah ini, rakyat selalu terjebak dalam permainan jual beli suara. Akibat jangka panjang, rakyat ditinggalkan begitu saja oleh calon yang mereka pilih, dan bahkan persoalan rakyat pun justru kian bertambah. Dengan demikian, persoalan transaksi politik dalam tiap kali momen pemilu/pemilukada secara tidak langsung menyulut bertambahnya penderitaan masyarakat, bukan sebaliknya. Oleh karenanya, maka hal yang tidak boleh luput dari memori otak kita saat ini dan kedepan adalah keniscayaan untuk lebih mengedepankan urgensitas pemahaman politik yang jujur dan santun kepada masyarakat. SEMOGA...!




Tidak ada komentar: