MEDIA LOKAL RAMAH & AKURAT

Jumat, 16 Agustus 2013

MUDIK

ADI SUSANTO

DIMANA kah enaknya mudik itu? Apakah pada saat pergi berjubel ria, saat naik motor berkonvoi, saat menyeberang laut, saat mengantre naik kapal laut, saat menunggu pesawat delay, saat beristirahat di tengah jalan, saat menjinjing oleh-oleh, saat tiba di kampung halaman, saat bermaaf-maafan, saat memakan ketupat bersama, saat mengobrol santai bersama keluarga besar, saat pulang arus balik atau saat tiba di rumah kembali dengan badan letih dan tidur pulas?
            Semua kesempatan dalam proses arus mudik ada enaknya, dan tentu saja ada tidak enaknya. Laksana dua sisi mata uang, yang tidak bisa diambil satu sisinya saja, tidak bisa diambil enaknya saja dan pasti sisi tidak enaknya juga harus diambil.
            Aliran uang mudik tahun ini mencapai triliunan rupiah, yang secara sesaat dan serentak dalam waktu satu minggu dihabiskan untuk konsumsi dan kebutuhan lain di kampung. Pasar desa/warung-warung di kampung menjadi meriah, kehidupan ekonomi di kampung dan di dalam perjalanan menjadi lebih hidup. Kehidupan ekonomi yang menggeliat sesaat itu timbul akibat aliran uang Tunjangan Hari Raya (THR), kian besar pula kucuran uang ke kampung. Itu cuma terjadi setiap tahun sekali, di mana kesempatannya amat ditunggu masyarakat di kampung. Masyarakat kota yang menjadi primadona di kampung jadi pembicaraan orang serta mungkin pula bisa menjadi tokoh. Atau mungkin juga bisa diajukan sebagai caleg pada pemilu legislatif, karena akan kesantunan budi dan kedermawanan hati kecuali jika THR dari hasil siluman.  
            Bagaimana jika seseorang yang tak memiliki kampung, yang mana kampungnya sudah berubah menjadi kota akibat perubahan pembangunan, atau di kampungnya sudah tidak memiliki orang tua atau sanak keluarga. Ternyata mudik juga tetap masih dibutuhkan oleh masyarakat urban. Mudik adalah suatu proses pulang menuju rumah masa kecil, dimana seseorang dibesarkan yang menggoreskan ingatan dan kenangan masa lalu, yang memberikan inspirasi tersendiri bahkan energi baru untuk melepas rindu serta membangkitkan kreatifitas.
            Mereka yang telah melakukan ritual mudik dengan rutin, semangatnya muncul kembali untuk bisa bekerja lebih berenergi, meski banyak yang telah dikorbankan guna mencapai semangat baru. Bahkan, terkadang pula mudik bisa dibayar dengan nyawa sekalipun, karena keselamatan berkendara yang kurang nyaman, infrastruktur dan sarana transportasi yang wajib dibangun negara alpa dilakukan. Setiap tahun misalnya, lebih dari 1500 kecelakaan lalu lintas, lebih 400 orang mati sia-sia, dan lebih dari 800 orang luka berat. Luka fisik dan luka batin yang tak bisa dinilai dengan uang terpaksa dibayar tuntas pemudik yang berjuang sekedar melepas rindu – pulang ke kampung halaman.
            Secara individual, saya merasakan keinginan mudik yang memuncak pada saat saya merantau di Yogyakarta. Keinginan melepas rindu kepada keluarga dan kampung halaman di Lombok – dayan gunung – dengan berbicara di telepon, mengirim foto via  kantor pos tidak bisa dipenuhi. Karena keterbatasan uang keinginan mudik pun tak bisa bisa dilaksanakan. Pada malam tertentu, di saat sunyi atau saat perasaan hati jenuh, saya melamun dan membayangkan Lombok dengan suasana desanya, membayangkan teman dan sanak keluarga, ingin rasanya meleburkan diri walau sejenak dalam nuansa budaya dan alam dayan gunung. Setelah kurang lebuh satu bulan istirahat melakukan ritual mudik di Lombok, merasakan kemesraan mudik dengan masyarakat desa, saya rindu kembali dengan kehidupan hiruk pikuk di kota besar. Ternyata mudik tak perlu berlama-lama, hanya beberapa hari atau beberapa minggu, untuk melepas lelah sejenak,  membuang kepenatan hidup, lalu kembali dalam kehidupan rutinitas yang memang menjadi bagian dari hidup masyarakat urban – selalu dekat dengan kompetisi, kecepatan dan ketepatan waktu dalam beraktivitas – entah bekerja atau aktivitas lain.
Pemudik kemudian ibarat pelari jarak jauh, yang harus berlari dalam terik panas matahari dan deru debu, pengap polusi udara, pelari itu jenuh, bahkan bisa semaput di tengah jalan jika lari tetap dipaksakan dalam kesecapatan tinggi. Pelari itu pergi berteduh sebentar di bawah pohon melepas kepenatan, minum sejenak dan menyeka keringat, lalu dengan energi baru melanjutkan tugas lari dengan gembira dan wajah berseri. Mungkin juga setiap tahun, setiap musim panas di tanah jawa, masyarakatnya punya kerinduan tersendiri untuk datang ke Lombok hanya untuk melepas rindu.
Apa yang pemudik cari di kampung halamannya atau di Lombok – tanah adi mirah? Mereka sedang mencari kedamaian, mencari keindahan, mencari kebahagian yang hanya ada di tanah kelahiran, di kampung halamannya di Lombok. Ya, di mana saja tempat yang telah menorehkan masa lalu yang indah di dalam hatinya. Sebenarnya cara pemudik itu mencari jati dirinya sendiri di dalam dirinya sendiri, di dalam hatinya, - tempat yang paling indah dan rahasia. Dari sisi batin, mudik berarti kembali ke suatu tempat yang pernah membahagian hati untuk bernostalgia. Jika hati berduka misalnya, ke tempat mana pun kita pergi tidak ada yang bisa menyenangkan hati. Jika hati berduka, mudiklah menghadap Tuhan Yang Maha Pencipta, bercengkrama dan berpasrahlah kepada-Nya. Meskipun anda diberi umur panjang, mungkin anda berumur seratus tahun lebih, anda akan menjadi makhluk terasing di muka bumi ini. Maka, saat itulah anda ingin segera minta izin kepada Tuhan untuk mudik ke alam lain.


Adi Susanto adalah Alumni Ikatan Pelajar Mahasiswa Lombok Utara Yogyakarta
             

                    

Tidak ada komentar: