AKHIR-AKHIR
ini, politik transaksional dalam pemilu/pemilukada menjadi bahasan serius
berbagai kalangan baik di sosial media, institusi sosial, forum-forum ilmiah
dan institusi akademis perguruan tinggi di Indonesia. Isu ini menjadi hangat diperbincangkan
karena melihat sepak terjang partai politik dan rekam jejak (track record) politisi lima tahun
terakhir dalam menjalankan amanah rakyat.
Jika kita menakar kembali peran partai politik ditinjau dari sisi komunikasi
politik dan paradigma sosial kemasyarakatan, maka sangat jelas bahwa modus
politik transaksional telah mencederai fungsi partai politik sebagai saluran
politik maupun lokus edukasi politik rakyat. Politik transaksional yang marak
terjadi pada setiap momentum demokrasi pasca reformasi – entah pemilu
legislatif, pemilu presiden dan pemilukada – jelas-jelas merupakan momok dan
tantangan berat para aktivis politik (komunikator politik – politisi, tokoh
masyarakat, tokoh pemuda, mahasiswa maupun stakholders
terkait lainnya).
Di tinjau dari sisi fungsi edukasi politik misalnya, politik
transaksional telah mencederai sistem pendidikan politik bagi masyarakat. Maka
kewajiban bagi semua pihak untuk memberi anjuran agar momentum Pilkada Serentak
Tahun 2015 di NTB khususnya di Kabupaten Lombok Utara dapat dengan maksimal dijadikan
sebagai ajang untuk meminimalisasi praktik politik transaksional, pasalnya
selama praktik politik demikian masih saja dikedepankan, maka proses pendidikan
politik gagal diimplementasikan. Oleh karena itu, para aktivis politik dari
pelbagai kalangan yang ada di daerah ini harus berkomitmen dan konsisten mendorong
agar partai politik dan calon yang diusung niscaya harus memperhatikan
rambu-rambu estetika, etika dan moralitas dengan cara-cara yang elok, elegan, mengedepankan
silaturahmi serta pendekatan langsung kepada masyarakat secara santun dan
bijak. Selain itu, perlu adanya solusi yang benar untuk memecahkan problematika
yang seolah-olah menjadi praktik yang lumrah terjadi secara terstruktur dan
sistemik setiap kali pemilu /pemilukada berlangsung tanpa berujung.
Dalam pendekatan tatap muka langsung (direct
face to face), silaturahmi sebagai pohon dan komunikasi santun yang
menyiraminya. Maka, dalam kontestasi pilkada serentak tahun 2015 ini, komunikasi
langsung kepada masyarakat penting sekali dilakukan untuk menyerap aspirasi dan
memetakan kebutuhan masyarakat yang amat beragam. Contoh kasus problem
kemiskinan misalnya, para kandidat kepala daerah dan wakil kepala daerah mesti berpikir
mencari terobosan jitu bagaimana menciptakan lapangan kerja baru dan menyiapkan
tenaga kerja siap pakai sesuai dengan standar dan kebutuhan daerah sebagai
jalan keluar mengatasi kemiskinan dan penangguran daerah yang hingga kini masih
tinggi. Kabupaten Lombok Utara sebagai salah satu daerah di Nusa Tenggara Barat
dengan tingkat kemiskinan yang masih relatif tinggi harus mampu mengatasi
persoalan pelik ini. Bagaimana caranya. Tentu cara yang paling tepat adalah
meningkatkan standar pendidikan masyarakat, menyediakan lapangan kerja baru
seperti mendirikan BUMD, membuka peluang wirausaha baru, menyediakan fasilitas
pengelolaan usaha kecil menengah dan tentunya yang lebih penting menyiapkan
tenaga kerja terampil agar terserap di internal daerah sebagai pengejawantahan
makna otonomi luas dan nyata. Menurut hemat Penulis, tiada cara lain kecuali
dengan cara-cara di atas. Sebab potensi sumberdaya alam dan sumberdaya ekonomi
lokal Kabupaten Lombok Utara sungguh luar biasa melimpah. Tinggal bagaimana
pemimpin daerah ini kedepan mampu mengelola pelbaga potensi yang ada. Sebagai
daerah otonomi baru, tentu jalan panjang menuju penataan segenap potensi yang
ada masih terbentang luas.
Kemudian, problem lain yang juga penting mendapatkan atensi kita adalah fungsi
partai politik dalam memajukan pembangunan daerah, dimana salah satu fungsi
partai politik yang mendasar adalah fungsi kaderisasi dalam rangka mencetak
politisi-politisi ulung dikemudian hari, disamping mengedepankan edukasi
politik secara langsung kepada masyarakat.
Pemilu 2014 lalu menjadi contoh konkret
betapa partai politik belum maksimal melakukan kaderisasi (mengajak orang-orang
yang punya bakat dan talenta untuk masuk dalam gerbong politik), semisal pada
tataran rekrutmen Caleg. Banyak sekali partai politik yang malah mengambil
caleg dari orang luar partai sendiri tanpa latarbelakang pengetahuan politik
yang mumpuni. Ini bisa dilihat dari banyaknya partai politik yang justru
mengambil caleg dari luar partainya, padahal kader internal partai ada kalau
tidak dikatakan banyak. Preseden buruk yang timbul kemudian adalah banyaknya
kader internal partai hengkang dari partainya lalu memutuskan bergabung dengan
partai lain yang dirasa dapat memberikan rasa nyaman serta mengakomodir
kepentingannya. Fenomena kutu loncat ini juga bisa terjadi karena kenakalan
politikus partai tertentu. Namun, satu hal yang patut diukir dalam untaian
memori kita – fakta rekutmen caleg dari luar partai – tidak serta merta murni karena
kesalahan kaderisasi disamping juga faktor kenalakan politikus tertentu.
Berkaitan
dengan konteks ini, maka semua pihak termasuk para pemuda dan mahasiswa harus ambil
peran secara maksimal untuk mengawal proses politik secara berkesinambungan
sembari melakukan pengawasan terhadap praktik politik yang tidak beretika.
Artinya semua kalangan harus menjadi ujung tombak strategis dalam mengikis
praktik politik transaksional di bumi Tioq Tata Tunaq, kini dan masa mendatang,
terlebih lagi hampir di seluruh wilayah Kabupaten Lombok Utara didominasi oleh
pemilih tradisional (± 70 %). NAH, pemilih dengan tipe tradisionalis inilah yang
menjadi objek empuk praktik-praktik transaksi politik para politikus kerap
terjadi di setiap momentum pesta demokrasi. Hingga tidak pelak lagi rakyat
laiknya – membeli barang di pasar gelap – tapi apa hendak dikata dari
pengalaman yang sudah-sudah di daerah ini, rakyat selalu terjebak dalam
permainan jual beli suara. Akibat jangka panjang, rakyat ditinggalkan begitu
saja oleh calon yang mereka pilih, dan bahkan persoalan rakyat pun justru kian
bertambah. Dengan demikian, persoalan transaksi politik dalam tiap kali momen
pemilu/pemilukada secara tidak langsung menyulut bertambahnya penderitaan
masyarakat, bukan sebaliknya. Oleh karenanya, maka hal yang tidak boleh luput
dari memori otak kita saat ini dan kedepan adalah keniscayaan untuk lebih
mengedepankan urgensitas pemahaman politik yang jujur dan santun kepada
masyarakat. SEMOGA...!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar