Dalam bulan-bulan mendatang di
Lombok Utara, Lombok Tengah, Sumbawa Barat, Sumbawa, Dompu dan Bima bakal digelar pemilihan kepala
daerah atau pilkada langsung secara serentak.
Bukan sesuatu yang baru apabila pada
saat-saat demikian calon-calon pimpinan daerah berjuang untuk menarik simpati
rakyat, lantaran mereka ini membutuhkan suara mereka untuk mendukungnya menjadi
pejabat daerah. Orang yang tengah memburu jabatan pantas diingatkan akan
pepatah Jawa yang mengingatkan akan janji mereka ketika mereka susah. ‘Yen susah manembah, bareng mukti tali
ngabekti’.
Bukan suatu kebetulan apabila
manusia memilih seorang pimpinan yang baik harus ingat akan pedoman ‘darmaning pemimpin’ yang sudah sejak
lama digariskan leluhur. Bahwa pemimpin yang baik itu adalah mereka yang mau
sadar diri, mengakui kekurangan. Tidak cukup hanya mengandalkan kekuatan
pikiran dan kepandaiannya semata. Tetapi perlu mengasah diri untuk selalu
introspeksi diri, berkaca kepada kekurangan yang senantiasa mengikuti dirinya.
Ia berani ‘ngerucat diri’.
Memang sulit melihat kekurangan
dan kesalahan diri sendiri. Yang umum, orang senang melihat keunggulannya
sendiri. Tetapi biasanya orang menghindari kelemahan diri. Akibat jangka
panjangnya, lupa dengan daratan dan kenyataan. Bila mampu berkaca kepada bulu
kuduknya sendiri, bisa menjadi ‘lembah
manah, ‘andhap asor’ hati lapang,
seluas samudera. Dan kemudian memahami
betapa berharganya hidup manusia serta jagat yang tercipta.
Peringatan kedua tentang
pemimpin adalah bahwa ia harus mampu menghadapi ‘bawana obah’, arus zaman. Ia harus berani menghadapi arus zaman,
terbuka terhadap perubahan, jangan sampai terseret dalam arus yang
menginjak-injak harkat kemanusiaan. Berani terbuka, hormat kepada sesama dan
melawan keangkaramurkaan. Yang ketiga, hormat kepada sesamanya. Pasalnya,
sekarang banyak orang mengaku cinta sesama, tapi hanya yang satu golongan, satu
agama, satu ras, satu etnis saja. Hormat berlandaskan keyakinan bahwa manusia
itu bersumber satu, yaitu Allah Swt. Kalau Yang Membuat Hidup cinta pada orang
yang berbuat sengsara kepada kita, mengapa kita berani membalas memusuhi?
Yang terakhir adalah pengorbanan
tanpa pamrih. ‘ngoyak galihing kuwasa’.
Ini dilandasi pada cita-cita luhur bahwa hidup di masyarakat itu sesungguhnya adalah
pengorbanan tanpa mengharapkan imbalan apapun. Dengan begitu ngoyak galihing kuwasa bukan ambisi untuk
mencari kekuasaan dalam rangka mengumpulkan harta benda. Mengejar inti
kekuasaan tidak lain berani mengorbankan harta kekayaan diri demi kesejahteraan
rakyat. Ini mungkin yang bisa menjadi pokok pedoman kita secara utuh siapa
nanti yang bakal menjadi pemimpin. Bukan lagi kepada siapa mereka akan dibayar
tinggi untuk memilih.
Masih adakah para pemimpin yang
mengedepankan darma yang tergurat dalam nilai-nilai luhur ini. Dan, sejauh mana
‘money politic’ sudah merasuk ke dalam
wilayah budaya bangsa. Nilai-nilai luhur bangsa yang bertentangan dengan tradisi
suap memang sedang berpacu di negeri ini. Tinggal bagaimana kearifan bangsa ini
berkembang. Kalau hanya demi kepentingan sesaat, tentu zaman salah kaprah akan
terus berjalan. Tetapi, demi kepentingan luhur bangsa supaya bangsa ini lepas
dari jeratan kehancuran, sebaiknya nilai luhur warisan budaya pantas kembali
mengemuka.
Semoga masyarakat kita semakin
pandai dan semakin bijak dalam memilih pemimpin masyarakat nantinya. Yang perlu
ditekankan yang kalah ya harus legawa. Lantaran budaya pemerintahan di
Indonesia ini adalah gotong royong. Dan budaya politiknya adalah musyawarah.
Kalau kalah bagaimanapun harus mendukung yang menang, sebaliknya jangan malah
menjegalnya. Apalagi pakai mengamuk, merusak, mengintimidasi dan sejenisnya.
Ini jauh dari budaya demokrasi di negeri yang bermartabat ini. SEMOGA ...!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar