SAMBI, Warisan yang Tergerus Zaman
GANGGA (KM
Murmas), WARGA LOMBOK
UTARA memiliki warisan leluhur yang dipergunakan
sebagai tempat menyimpan padi. Warisan ini oleh sebagian orang dinilai miliki nilai
kearifan lokal. Bangunan ini dinamai Sambi. Sambi itu dijadikan
gudang pangan saat gagal panen. Sekarang bangunan yang berguna sebagai tempat penyimpanan padi itu rupanya
mulai tergerus oleh kemajuan zaman modern,
buktinya telah banyak ditinggalkan orang. Kemudahan akses transportasi
dan pasar membuat masyarakat mendapatkan bahan kebutuhan
seperti pangan, sehingga banyak para pewaris tidak lagi menggubris bangunan
kuno tersebut.
Bangunan berbentuk persegi empat itu terlihat kumuh. Atap
ilalangnya rontok. Pagarnya terbuat dari bambu dibangun dengan bentuk kotak. Dari penulusuran Sambi
Warga bangunan itu sudah bolong di
beberapa bagian. Tiangnya pun oleng. Melihat di balik lubang hanya ada ruang
kosong yang hanya berisi udara saja. Tak ada
padi laiknya bangunan yang lain. Bangunan itu dikenal masyarakat Kecamatan Gangga sejak masa silam, lumbung padi atau tempat penyimpanan gabah
sebelum digiling. Posisinya cukup tinggi dari tanah, tertutup rapat, membuat tikus sangat
kesulitan masuk menggerogoti gabah yang tersimpan. Sistem penyimpanan di sambi menjadi kebiasaan di warga Gangga dan masyarakat di tempat lainnya di Lombok Utara.
Saat butuh makan, gabah di dalam sambi diambil secukupnya. Kemudian digiling menggunakan lesong (rantok, lesung panjang laiknya
perahu). “ Dahulu
setahun kami tidak membeli beras, ada cadangan di sambi, ” kata Inak Ramik, Warga Rempek. Padi yang disimpan di sambi sudah diperkirakan cukup untuk
cadangan pangan keluarga selama setahun. Sementara lauk pauk dan sayur mayur
masih bisa disediakan pekarangan rumah atau areal sawah. Hasil ternak juga
masih cukup.
Padi dipanen dengan dipotong menggunakan
anai-anai, kemudian disimpan di dalam sambi.
Ada juga warga yang menyimpan di dalam karung lalu dimasukkan ke dalam bangunan
yang berada di bagian sisi rumah itu. Zaman dulu, satu rumah biasanya memiliki
satu sambi. Pemandangan seperti itu
lumrah dijumpai di kampung-kampung tradisional di dayan gunung, khususnya di Gangga, Kayangan dan Bayan.
Namun, kini sangat
jarang bahkan langka para kepala keluarga memanfaatkan sambi di dua desa itu. Jika dulu para keluarga belum tenang sebelum
sambi kosong, tapi kini justru jarang
sambi yang sengaja diisi. Bahkan fenomena
ini pertanda mereka akan meningggalkan tradisi nenek moyang.
Sambi yang
rusak pun tidak diperbaiki. Bahkan kebanyakan warga di dua desa ini tidak lagi memiliki sambi. Ini menandakan tradisi menyimpan padi di sambi perlahan-lahan mulai bergeser.
Kemudahan warga mendapatkan bahan makanan menjadi salah satu penyebab. Jika
dulu kawasan Gangga dan Kayangan berada di
tengah kawasan hutan lebat, akses transportasinya cukup jauh, kini amat mudah
diakses. Begitu juga dengan sambi di Bayan, perlahan tetapi pasti mulai berkurang. Kesan
yang muncul kemudian, Sambi adalah pasangan
setia rumah tradisional berbahan bambu yang
cukup bersejarah.
Hilangnya sambi
juga berimplikasi pada sistem panen petani. Dulu para petani panen menggunakan anai-anai
dan pisau kecil untuk memotong tangkai padi. Tidak dengan merontokkan bulir
padi (sistem merompes). Seluruh padi
yang tersimpan di dalam sambi diikat dengan
kuat. Setidaknya ada alasan logis yang membuat sambi masih bertahan hingga saat ini dibeberapa tempat di Gangga,
yaitu padi yang disimpan di dalam sambi
tidak cepat rusak karena masih yang bertangkai lengkap dengan bulunya. (dj)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar