Secara fisik, sudah 68 tahun bangsa Indonesia lepas dari
belenggu penjajahan. Namun, kenyataannya negeri ini masih carut marut di segala
bidang, bahkan mungkin akan lebih dari kenyataan pahit saat ini. Tak ayal lagi
Indonesia masih terpuruk dibandingkan negara lainnya. Anehnya, di tengah-tengah
keterpurukan ini sebagian kalangan malah berfoya-foya dengan dalih merayakan
kemerdekaan. Ia terlena akan makna kemerdekaan sejati.
Gempita kemerdekaan
sangat marak menjelang ritual peringatan ke 68 tahun Indonesia mengenang
kebebasannya beberapa waktu lalu di sela-sela hiruk pikuknya kota hingga
merambah ke desa-desa. Lampu kerlap-kerlip pun ikut menghiasi dan menghidupkan
suasana keceriaan. Selaksa ikut menyambut kemerdekaan Republik Indonesia.
Sesekali terdengar pekikan “merdeka” oleh anak-anak kecil seakan-akan mengajak
kita kembali pada masa-masa perjuangan dulu. Dengan penuh riang gembira, bangsa
Indonesia mulai anak-anak sampai orang dewasa menyambut kemerdekaannya.
Sudah menjadi tradisi bernegara,
di setiap hari-H kemerdekaan diselenggarakan upacara kemerdekaan. Mulai dari
sekolah-sekolah sampai instansi-instansi pemerintahan. Beraneka macam cara
ditempuh untuk memperingati kemerdekaan, sebagian kalangan berbagai macam
perlombaan, karnaval, dan bahkan ada yang berjoget ria sambil mabuk-mabukan. Intinya,
mereka ingin mengekspresikan keceriaannya dengan beragam cara. Sampai-sampai
mereka lalai dan tak peduli akan arti dan spirit perjuangan para pejuang
bangsa.
Kendatipun sudah 68
tahun telah menikmati kemerdekaan, bukan berarti bangsa Indonesia bisa
ongkang-ongkang dengan seenaknya. Seakan-akan telah usai dari garapan besarnya.
Kita harus sadar bahwa cita-cita luhur para pejuang kemerdekaan belum tercapai
secara sempurna. Secara fisik kita memang merdeka, tetapi secara politik, ekonomi,
budaya, ideologi, dan kebebasan berpikir kita masih berada di bawah cengkeraman
orang-orang Barat. Agenda besar yang ada di hadapan bangsa Indonesia saat ini
adalah mengentaskan dirinya dari belenggu imperialisme baru. Bukannya melakukan
hura-hura yang justru tidak menghargai tetesan keringat para pejuang. Perjuangan
bangsa Indonesia dibayar dengan cucuran darah dan air mata, karenanya kita
tidak boleh mengacuhkannya begitu saja. Kita harus melanjutkan perjuangan
mereka menuju kemerdekaan yang hakiki. Dalam konteks ini, kita perlu
merefeleksi ulang makna hakiki sebuah kemerdekaan.
Pada dasarnya, manusia
terlahir di muka bumi ini dengan sejuta kebebasan. Terlepas dari
sekapan-sekapan kekuasaan di luarnya. Punya keleluasaan hak yang tidak boleh
dirampas oleh pihak lain. Sebagaimana telah diujarkan oleh Sahabat Nabi Umar RA,
bahwa sejak kapan kalian memperbudak manusia, sedangkan mereka dilahirkan dari
rahim ibunya dalam keadaan merdeka.
Islam adalah agama
pembebas. Isi utamanya mengembalikan kemerdekaan dan hak-hak manusia yang telah
dirampas oleh pihak-pihak yang bertindak sewenang-wenang. Melalui semboyan “La
Ilaaha Illallah” ada isyarat yang nyata akan adanya kemerdekaan secara
purna dalam Islam. Dengan pernyataan “Laa Ilaha” berarti manusia telah
melepaskan dirinya dari penghambaan dan ketundukan dari kekuatan mana saja yang
menghegemoni dirinya. Tapi perlu diingat, bahwa kebebasan yang kelewat batas
akan menimbulkan anarkisme. Maka, perlu dihadirkan kata “Illallah”,
artinya meskipun manusia punya kebebasan secara penuh, tapi masih dalam rel
agama Allah SWT. Sahabat Ali RA, pernah mengingatkan kita dengan mengungkapkan sebuah
wasiatnya: “Jangan sampai kalian menjadi budak orang lain, padahal kalian
diciptakan Allah dalam keadaan merdeka”.
Islam secara tegas
memerangi segala macam bentuk penjajahan. Tidak hanya penjajahan secara fisik
saja. Tetapi di mana saja manusia merasa dirampas dan diinjak-injak hak-haknya,
baik secara politik, ekonomi, ideologi, dan sosial. Dengan lantang Islam
menyuarakan kemerdekaan dan melawan segala bentuk penjajahan tersebut. Dari
sekian bentuk penjajahan di muka bumi ini yang paling berbahaya adalah
keterkungkungan dalam sisi ideologi (kepercayaan). Karena disinilah akar dari
segala bentuk penjajahan lainnya. Pasalnya, manusia yang mau diperbudak secara
ideologi akan menjadikannya tunduk dan bertekuk lutut. Bahkan demi
mempertahankan ideologi, manusia rela mengorbankan nyawanya. Oleh karenanya, sejak
awal Islam memberikan kemerdekaan dalam ideologi. Hal ini sebagaimana firman
Allah SWT, “maka apakah kamu hendak memaksa manusia agar mereka menjadi
orang-orang yang beriman semuanya”.
Islam juga sangat
menghargai kemerdekaan manusia dalam lini yang lain, baik ekonomi, sosial,
politik, budaya, sebagaimana yang pernah diujarkan Nabi “Sesama umat Islam
tidak boleh melanggar darah, harta, dan kehormatannya”. Ini berarti Islam
sangat menghargai HAM, jiwa, harta, dan kehormatan yang tidak boleh
diinjak-injak oleh orang lain. Bukan saja antara sesama muslim melainkan kepada
manusia secara keseluruhan. Meskipun telah merayakan kemerdekaan yang ke 68
kali, namun belum menemui tujuan akhir, sebab cita-cita luhur pejuang bangsa
terdahulu belum tercapai yaitu membangun bangsa Indonesia yang mandiri tanpa
tercabik-cabik oleh kekuatan lain, baik dari sisi politik, ekonomi, sosial,
budaya, dan sisi ideologi sebagaimana kemerdekaan yang diidealkan Islam. Menengok
realitas yang terjadi Indonesia baru sampai setengah perjalanan saja, belum
sampai kemerdekaan sejati.
Kemerdekaan yang diraih
melalui pengorbanan para pejuang adalah suatu kenikmatan agung. Sehingga, cara
kita mensyukurinya dengan mendayagunakan nikmat yang diperoleh ke arah ridha
Allah SWT bukan berhura-hura dan berpesta fora. Ada beragam media untuk
menampakkan rasa syukur kita. Pertama, syukr al-Qalbi, dengan cara merenungi
kebesaran Tuhan, berkomitmen tinggi. Kedua, syukr al-Lisan, dengan cara
mengagungkan Allah, berdzikir, bertasbih, dan sebagainya. Ketiga, syukr
al-Badan, dengan cara melaksanakan amal kebajikan sesuai tujuan kenikmatan itu
diberikan. Keempat, syukr Bil Mal, dengan cara mendermakan harta yang
kita miliki ke jalan Allah SWT. Kelima, syukr al-Nafs, dengan cara meninggalkan
buaian syahwat.
Sudah menjadi tradisi
yang tidak terlepas di setiap bulan kemerdekaan, bangsa Indonesia memarakkannya
dengan berbagai akktivitas. Secara umum ada tiga bentuk perayaan yang dilakukan
masyarakat umum. Pertama, peringatan bersifat seremonial, semacam
upacara. Bentuk ini penting dilestarikan karena peringatan kemerdekaan dapat
menjadikan renungan bagi kita, pelajaran untuk menapaki langkah ke depan, dan
mengenang jasa-jasa para pejuang. Kedua, peringatan yang memberikan
manfaat, baik secara vertikal maupun horizontal, semacam mengadakan pengajian,
tahlil, berziarah ke makam pahlawan, menyantuni fakir miskin dan anak yatim. Bentuk
kedua ini yang harus selalu dikembangkan sebagai bentuk rasa syukur kita atas
nikmat kemerdekaan. Semakin kita bersyukur niscaya Allah akan semakin
melimpahkan kenikmatan-Nya.
Ketiga, peringatan
yang berbentuk hura-hura. Semacam karnaval, aneka macam lomba, pagelaran musik,
pesta pora dan bentuk kegiatan lain yang mengekspresikan kegembiraan.
Kegembiraan semacam ini adalah hal mubah senyampang tak melanggar aturan syara’,
semisal mabuk-mabukan, menghambur-hamburkan uang. Sementara di sekeliling kita masih
banyak masyarakat yang membutuhkan uluran tangan. Wal hasil, peringatan
kemerdekaan merupakan hal yang harus dilestarikan sebagai wujud syukur kita
kepada Allah SWT., disamping kita harus sadar akan tujuan para founding
father kita membangun negeri ini. Dengan rela para pejuang mengorbankan
jiwa dan raganya demi membela harga diri bangsa. Alangkah naifnya, jika kita berhura-hura
dengan bertopeng peringatan kemerdekaan, sementara kita alpa akan spirit
kemerdekaan sejati.
* Sarjono adalah pekerja sosial dan jurnalis warga