ADI SUSANTO
DIMANA kah enaknya mudik itu?
Apakah pada saat pergi berjubel ria, saat naik motor berkonvoi, saat
menyeberang laut, saat mengantre naik kapal laut, saat menunggu pesawat delay,
saat beristirahat di tengah jalan, saat menjinjing oleh-oleh, saat tiba di
kampung halaman, saat bermaaf-maafan, saat memakan ketupat bersama, saat
mengobrol santai bersama keluarga besar, saat pulang arus balik atau saat tiba
di rumah kembali dengan badan letih dan tidur pulas?
Semua kesempatan dalam proses arus
mudik ada enaknya, dan tentu saja ada tidak enaknya. Laksana dua sisi mata
uang, yang tidak bisa diambil satu sisinya saja, tidak bisa diambil enaknya
saja dan pasti sisi tidak enaknya juga harus diambil.
Aliran uang mudik tahun ini mencapai
triliunan rupiah, yang secara sesaat dan serentak dalam waktu satu minggu
dihabiskan untuk konsumsi dan kebutuhan lain di kampung. Pasar desa/warung-warung
di kampung menjadi meriah, kehidupan ekonomi di kampung dan di dalam perjalanan
menjadi lebih hidup. Kehidupan ekonomi yang menggeliat sesaat itu timbul akibat
aliran uang Tunjangan Hari Raya (THR), kian besar pula kucuran uang ke kampung.
Itu cuma terjadi setiap tahun sekali, di mana kesempatannya amat ditunggu
masyarakat di kampung. Masyarakat kota yang menjadi primadona di kampung jadi
pembicaraan orang serta mungkin pula bisa menjadi tokoh. Atau mungkin juga bisa
diajukan sebagai caleg pada pemilu legislatif, karena akan kesantunan budi dan
kedermawanan hati kecuali jika THR dari hasil siluman.
Bagaimana jika seseorang yang tak
memiliki kampung, yang mana kampungnya sudah berubah menjadi kota akibat
perubahan pembangunan, atau di kampungnya sudah tidak memiliki orang tua atau
sanak keluarga. Ternyata mudik juga tetap masih dibutuhkan oleh masyarakat
urban. Mudik adalah suatu proses pulang menuju rumah masa kecil, dimana
seseorang dibesarkan yang menggoreskan ingatan dan kenangan masa lalu, yang
memberikan inspirasi tersendiri bahkan energi baru untuk melepas rindu serta
membangkitkan kreatifitas.
Mereka yang telah melakukan ritual
mudik dengan rutin, semangatnya muncul kembali untuk bisa bekerja lebih berenergi,
meski banyak yang telah dikorbankan guna mencapai semangat baru. Bahkan,
terkadang pula mudik bisa dibayar dengan nyawa sekalipun, karena keselamatan
berkendara yang kurang nyaman, infrastruktur dan sarana transportasi yang wajib
dibangun negara alpa dilakukan. Setiap tahun misalnya, lebih dari 1500
kecelakaan lalu lintas, lebih 400 orang mati sia-sia, dan lebih dari 800 orang
luka berat. Luka fisik dan luka batin yang tak bisa dinilai dengan uang
terpaksa dibayar tuntas pemudik yang berjuang sekedar melepas rindu – pulang ke
kampung halaman.
Secara individual, saya merasakan
keinginan mudik yang memuncak pada saat saya merantau di Yogyakarta. Keinginan
melepas rindu kepada keluarga dan kampung halaman di Lombok – dayan gunung –
dengan berbicara di telepon, mengirim foto via
kantor pos tidak bisa dipenuhi. Karena keterbatasan uang keinginan mudik
pun tak bisa bisa dilaksanakan. Pada malam tertentu, di saat sunyi atau saat
perasaan hati jenuh, saya melamun dan membayangkan Lombok dengan suasana
desanya, membayangkan teman dan sanak keluarga, ingin rasanya meleburkan diri walau
sejenak dalam nuansa budaya dan alam dayan gunung. Setelah kurang lebuh satu
bulan istirahat melakukan ritual mudik di Lombok, merasakan kemesraan mudik
dengan masyarakat desa, saya rindu kembali dengan kehidupan hiruk pikuk di kota
besar. Ternyata mudik tak perlu berlama-lama, hanya beberapa hari atau beberapa
minggu, untuk melepas lelah sejenak, membuang kepenatan hidup, lalu kembali dalam kehidupan
rutinitas yang memang menjadi bagian dari hidup masyarakat urban – selalu dekat
dengan kompetisi, kecepatan dan ketepatan waktu dalam beraktivitas – entah bekerja
atau aktivitas lain.
Pemudik kemudian ibarat pelari jarak jauh,
yang harus berlari dalam terik panas matahari dan deru debu, pengap polusi
udara, pelari itu jenuh, bahkan bisa semaput di tengah jalan jika lari tetap
dipaksakan dalam kesecapatan tinggi. Pelari itu pergi berteduh sebentar di
bawah pohon melepas kepenatan, minum sejenak dan menyeka keringat, lalu dengan
energi baru melanjutkan tugas lari dengan gembira dan wajah berseri. Mungkin
juga setiap tahun, setiap musim panas di tanah jawa, masyarakatnya punya
kerinduan tersendiri untuk datang ke Lombok hanya untuk melepas rindu.
Apa yang pemudik cari di kampung halamannya
atau di Lombok – tanah adi mirah? Mereka sedang mencari kedamaian, mencari
keindahan, mencari kebahagian yang hanya ada di tanah kelahiran, di kampung
halamannya di Lombok. Ya, di mana saja tempat yang telah menorehkan masa lalu
yang indah di dalam hatinya. Sebenarnya cara pemudik itu mencari jati dirinya
sendiri di dalam dirinya sendiri, di dalam hatinya, - tempat yang paling indah
dan rahasia. Dari sisi batin, mudik berarti kembali ke suatu tempat yang pernah
membahagian hati untuk bernostalgia. Jika hati berduka misalnya, ke tempat mana
pun kita pergi tidak ada yang bisa menyenangkan hati. Jika hati berduka,
mudiklah menghadap Tuhan Yang Maha Pencipta, bercengkrama dan berpasrahlah
kepada-Nya. Meskipun anda diberi umur panjang, mungkin anda berumur seratus
tahun lebih, anda akan menjadi makhluk terasing di muka bumi ini. Maka, saat
itulah anda ingin segera minta izin kepada Tuhan untuk mudik ke alam lain.
Adi Susanto adalah Alumni Ikatan Pelajar Mahasiswa
Lombok Utara Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar